*Yang Patut Hadir Dalam Hati Saat Shalat...
Orang yang shalat hendaklah berharap pahala dengan shalatnya, sebagaimana dia takut hukuman bila melalaikannya.
Orang yang shalat hendaklah menghadirkan hatinya pada segala sesuatu
dari shalat. Bila mendengar panggilan muadzin, hendaknya
mengumpamakannya dengan panggilan kiamat dan menyingsingkan lengan baju
untuk segera memenuhinya. Merenungkan dengan apa dia menjawab dan dengan
badan apa dia hadir. Bila dia menutup auratnya (untuk segera menghadiri
shalat), maka hendaknya dia mengetahui bahwa maksud darinya adalah
menutupi aib-aib pada tubuhnya dari pandangan manusia, maka hendaknya
dia mengingat aurat batin dan aib hatinya yang tidak diketahui kecuali
oleh Allah dan tidak ada yang bisa menutupinya dariNya, dan bahwa yang
akan melebur aib-aib batin itu adalah penyesalan, rasa malu, dan rasa
takut.
Bila menghadap kiblat, maka dia telah memalingkan
wajahnya dari segala arah menuju arah Baitullah, maka (hendaklah
seseorang menyadari bahwa) memalingkan hatinya kepada Allah adalah lebih
patut dari itu. Sebagaimana seseorang tidak mungkin menghadap ka’bah
kecuali dengan meninggalkan arah-arah yang lain, maka demikian juga
dengan hati, ia tidak menghadap kepada Allah kecuali dengan meninggalkan
selain Allah.
Bila engkau bertakbir, wahai orang yang shalat,
maka hatimu jangan mendustakan lidahmu, kecuali bila dalam hati terdapat
sesuatu yang lebih besar daripada Allah, maka saat itu kamu berdusta.
Maka berhati-hatilah, jangan sampai hawa nafsumu lebih besar; dengan
bukti bahwa kamu lebih mementingkan menurutinya di atas ketaatan kepada
Allah.
Bila kamu membaca ta’awwudz, maka sadarilah bahwa
isti’adzah adalah berlindung kepada Allah, bila kamu tidak berlindung
dengan hatimu, maka ucapanmu itu sia-sia. Maka berusahalah memahami
makna apa yang kamu baca, hadirkan hatimu dengan penuh pemahaman
terhadap Firman Allah (artinya),
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” {QS. Al-Fatihah: 2}
Resapilah Kelembutan Allah pada FirmanNya (artinya),
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”{QS. Al-Fatihah: 3}
Renungkanlah keagunganNya pada Firman Allah (artinya),
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang Menguasai hari pembalasan.” {QS. Al-Fatihah: 4}
Demikian seterusnya dengan apa yang anda baca.
Kami meriwayatkan dari Zurarah bin Aufa bahwa dia membaca dalam
shalatnya, Surat Al-Muddatstsir, dan ketika sampai ayat (artinya),
“Apabila sangkakala telah ditiup”, maka dia tersungkur menjadi mayat.
{Sanadnya hasan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, no.455, dan tercantum
dalam shahih sunan At-Tirmidzi, no. 366.} Hal itu tidak lain kecuali
karena dia membayangkan kondisi tersebut (ditiupnya sangkakala), maka
akibatnya dia pun meninggal saat itu juga.
Rasakanlah tawadhu’
dalam ruku’mu, tambahan kehinaan dalam sujudmu, karena kamu telah
meletakkan jiwa pada tempatnya, kamu mengembalikan cabang ke asalnya
dengan bersujud di atas tanah di mana darinya kamu tercipta. Pahamilah
makna dzikir-dzikirnya dengan penuh perasaan dan penghayatan.
Ketahuilah, bahwa menunaikan shalat dengan syarat-syarat batin ini
merupakan sebab bersihnya hati dari karat dan noda, dan terciptanya
cahaya-cahaya padanya yang dengannya seorang hamba dapat menyingkap
keagungan Rabb yang disembahnya dan membuka rahasia-rahasiaNya,
وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُونَ
“Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” {arti QS. Al-Ankabut: 43}
Adapun orang yang menunaikan shalat secara lahir tanpa makna-maknanya,
maka dia tidak akan melihat apa pun darinya, sebaliknya dia mengingkari
keberadaannya.
[Dikutip dari Buku “Mukhtashor Minhajul
Qoshidin” Inti Sari Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Karya Al-Imam Ibnu Qudamah
rohimahullaah, tahqiq Asy-Syaikh Zuhair Asy-Syawisy, Penerbit Darul Haq,
hal.49-51.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar